tb

Jumat, 10 Agustus 2012

Spanyol, Jaya di Masa Islam


Spanyol, Jaya di Masa Islam

Masuk dan menyebarnya Islam di Spanyol menjadi fakta
sejarah yang membantah kesan bahwa dakwah Islam
disampaikan dengan kekerasan. Tak hanya itu, Islam di
Spanyol juga telah mengantarkan wilayah ini mencapai
kejayaannya dengan sejumlah penemuan ilmiah
revolusioner.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa di kalangan
orientalis Barat berkembang persepsi, dalam dakwahnya
para tokoh Islam ibarat menggenggam Al-Qur'an di tangan kanan dan
menghunus sebilah pedang di tangan kiri.
Seolah-olah, demikian dikesankan para orientalis, satu-satunya pilihan bagi
mereka yang tidak menerima Islam adalah: mati! Penilaian tersebut untuk
menstigma bahwa Islam adalah ajaran kejam dan pengikutnya tidak lebih dari
seorang jagal. Padahal peperangan yang dilakukan Islam di masa Rasul dan
sahabatnya ataupun masa sesudahnya, jauh dari kesan kejam dan brutal.
Syari'at Islam menjelaskan perang dalam Islam terdiri dari dua jenis. Pertama
adalah perang defensif karena diserang dan dalam rangka mempertahankan diri
atau mempertahankan wilayah kaum muslimin. Kedua, perang ofensif dengan
tujuan menghancurkan penghalang dakwah. Biasanya penghalang dakwah
berupa digelarnya pasukan oleh penguasa kafir yang menolak wilayahnya
dimasuki ajaran Islam dan kaum muslimin. Karena menyebarkan dakwah adalah
kewajiban syara', maka peperangan menjadi metoda yang absah dalam konteks
syari'at Islam dan sejarah perkembangan Islam.
Lagipula perang dalam Islam untuk menghidupkan umat manusia, bukan
memusnahkan. Oleh karena itu, ketika kaum muslimin menang perang dan
menguasai wilayah, tidak bertujuan menjajahnya.
Masuk dengan Damai
Islam sendiri, jelas mengutamakan perdamaian. Perjalanan sejarah masuk dan
menyebarnya Islam di Spanyol, menjadi salah satu buktinya. Dalam proses yang
memakan waktu relatif singkat, tiga tahun, Islam berhasil menyebar ke seantero
Spanyol. Hebatnya lagi, para pendakwah yang memperkenalkan Islam di
Spanyol dari tahun 711 hingga 714 Masehi itu, hanya mengalami satu kali
peperangan.
Peperangan itu pecah pada awal masuknya Islam ke sana, yaitu sekitar tahun
709 Masehi di Guadelete, sebuah kota terkemuka dekat Cadiz. Peperangan itu
sebenarnya bermula dari pertikaian antara sesama umat Kristen Spanyol. Raja
Roderick yang berkuasa saat itu memaksakan keyakinan trinitas Kristen yang
dianutnya kepada umat Nasrani Aria. Berbeda dengan para pendukung Roderick
yang meyakini Nabi Isa sebagai Yesus, yaitu Allah Bapak, Anak Tuhan, dan Ruh
Kudus, kaum Nasrani Aria meyakini Nabi Isa semata sebagai Rasulullah.
Pemaksaan keyakinan Trinitas oleh Raja Roderick ini menimbulkan penindasan di
kalangan Nasrani Aria. Lantas pimpinan merekapun mendukung pasukan Muslim
pimpinan Tariq bin Ziyad, sesaat setelah memasuki wilayah Andalusia melalui
selat Giblatar. Maka pecahlah perang antara pasukan Raja Roderick dengan
pasukan Muslim pimpinan Tariq bin Ziyad. Sejarawan Barat yang beraliran
konservatif, W. Montgomery Watt dalam bukunya Sejarah Islam di Spanyol
mencoba meluruskan persepsi keliru para orientalis Barat yang menilai umat
Islam sebagai yang suka berperang. Menurutnya, "Mereka (para orientalis)
umumnya mengalami mispersepsi dalam memahami jihad umat Islam. Seolaholah
seorang muslim hanya memberi dua tawaran bagi musuhnya, yaitu antara
Islam atau pedang. Padahal bagi pemeluk agama lain, termasuk ahli kitab,
mereka bisa saja tidak masuk Islam meski tetap dilindungi oleh pemerintahan
Islam".
Itulah yang terjadi sepanjang perjalanan sejarah masuknya Islam ke Spanyol.
Islam tak hanya masuk dengan damai, namun dengan cepat menyebar dan
membangun peradaban tinggi hingga Spanyol mencapai puncak kejayaannya.
Kota-kota terkemuka Spanyol seperti Andalusia dan Cordova menjadi center of
excellent peradaban dunia.
Montgomery menganalisa, ini karena Islam tak mengenal pemisahan yang kaku
antara ilmu pengetahuan, etika, dan ajaran agama. Satu dengan yang lain
dijalankan dalam satu tarikan nafas. Pengamalan syari'at Islam sama pentingnya
dan memiliki prioritas yang sama dengan riset-riset ilmiah.
Tak mengherankan jika para ulama terkemuka seperti Ibnu Rusyd (1126-1198)
misalnya, yang di Barat dikenal dengan Averous, diakui pula sebagai ilmuwan
yang handal di bidangnya. Demikian halnya dengan Ibnu Arabi (1165-1240)
yang juga telah mengharumkan Islam di Spanyol.
Ilmu pengetahuan bukanlah bagian yang terpisahkan dari syari'at Islam dan
etika moral. Menurut Montgomery, tak ada yang dapat melukiskan relasi antara
ilmu pengetahuan, agama, dan etika daripada kata-kata filosofis Ibnu Rusyd.
Filsafat tak berarti apa-apa jika tak bisa menghubungkan ilmu pengetahuan,
agama, dan etika dalam suatu relasi harmonis. Ilmu pengetahuan, demikian
Ibnu Rusyd, dibangun di atas fakta-fakta dan logika hingga sampai kepada suatu
penjelasan rasional. Etika, merefleksikan manfaat setiap riset ilmiah, sehingga
harus dapat memberi nilai tambah bagi kehidupan. Sedangkan firman Allah,
itulah Al-Qur'an, menjadi satu-satunya pembimbing kita untuk sampai pada
tujuan hakiki dari hidup ini.
Temuan-temuan Iptek
Membicarakan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Spanyol, tak
bisa lepas dari kerja besar pembangunan peradaban yang dilakukan para
pembawa risalah Islam ke kawasan Eropa itu. Tak bisa juga dipisahkan dari
kajian etika serta syari'at Islam yang didakwahkan para da'i.
Itulah yang mendorong semangat para ilmuwan Muslim Spanyol: Pengetahuan
itu satu karena dunia juga satu, dunia satu karena Allah juga satu. Prinsip
"tauhid" semacam ini yang menjadi koridor berpikir para ilmuwan muslim dalam
mengembangkan sains dan teknologi.
Tak mengherankan jika temuan-temuan para ilmuwan muslim pada zaman ini
sangat revolusioner. Jauh sebelum Wilbur Wright dan Oliver Wright menemukan
pesawat terbang pada abad 20, usaha menemukan alat transportasi
penerbangan sudah dilakukan oleh Abu Abbas Al-Fernass. Bahkan ia sudah
mencoba terbang, meski kendaraan yang ditemukannya tak sempurna.
Sayangnya, sejarah peradaban dunia Islam yang berbasis di Andalusi, Spanyol
itu, tak terekam oleh Barat. Sementara catatan-catatan sejarah Islam, ditutup
rapat untuk tak dijadikan referensi.
Toh sejarah tak bisa berdusta. Demikian halnya dalam pengembangan ilmu
kedokteran oleh para pakar muslim. Selain Ibnu Rusyd, adalah Az-Zahrawi yang
dikenal sebagai orang pertama yang memperkenalkan teknik pembedahan
manusia. Az-Zahrawi yang lahir dekat Cordova pada 936 Masehi, dikenal sebagai
penyusun ensiklopedi pembedahan yang karya ilmiahnya itu dijadikan referensi
dasar bedah kedokteran selama ratusan tahun. Sejumlah universitas, termasuk
yang ada di Barat, menjadikannya sebagai acuan.
Demikian halnya kontribusi ilmuwan Islam di bidang astronomi. Adalah Az-
Zarqalli, astronom muslim kelahiran Cordova yang pertama kali
memperkenalkan astrolabe. Yaitu suatu instrumen yang digunakan untuk
mengukur jarak sebuah bintang dari horison bumi. Penemuan ini menjadi
revolusioner karena sangat membantu navigasi laut. Dengan demikian,
transportasi pelayaran berkembang pesat selepas penemuan astrolabe.
Sementara pakar geografi, Al-Idrisi, yang lahir di Ceuta pada 1099 Masehi,
setelah menuntut ilmu di Cordova juga menemukan dan memperkenalkan teknik
pemetaan dengan metode proyeksi. Suatu metode yang sama dengan yang
dikembangkan Mercator, empat abad kemudian.
Eropa Berhutang Budi Temuan sains dan teknologi, serta kajian filsafat Muslim
Spanyol, mengalir ke seluruh kawasan ibarat mengairi kekeringan kehidupan
intelektual Eropa. Para pelajar dari Eropa Barat memenuhi perpustakaanperpustakaan
serta kampus-kampus perguruan tinggi yang dibangun oleh
ilmuwan muslim di sana.
Pola pendidikan yang dikembangkan para ilmuwan muslim di sana, sungguh
memikat para pelajar dari Eropa. Dalam kitabnya yang berjudul Muqaddimah,
ulama Muslim terkemuka Ibnu Khaldun menilai metode pendidikan yang
dikembangkan saat itu sebagai "Mengarahkan seseorang untuk mengerti sesuatu
melalui apa yang dikerjakannya". Secara sederhana Ibnu Khaldun menyebutnya
sebagai "Metode belajar dengan hati" atau "Learning by doing" dalam bahasa
kita sekarang.
Kondisi inilah yang mencerahkan paradigma berpikir orang-orang Eropa.
Menurut Montgomery, cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban
Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan
peradaban Islam yang menjadi "dinamo"nya, Barat bukanlah apa-apa.
Inilah yang sesungguhnya menjadi momentum Eropa memasuki masa
Renaissance. Pada abad sembilan, demikian Montgomery, Universitas Cordoba
menjadi gerbang Eropa memasuki zaman pencerahan. Sayangnya orang-orang
Eropa merasa pencerahan mereka berawal pada abad enam belas dari Florence
di Italy.
Yaitu pada saat pemimpin Eropa bersepakat 'meninggalkan' agama dalam segala
aspek kehidupan dan mengembangkan apa yang disebut sekularisme. Akibatnya,
keagungan peraaban Islam yang dibangun di Spanyol berakhir dengan tragis.
Yaitu pada saat penguasa di sana menghancurkan semua karya pemikiran para
ilmuwan muslim. Tidak hanya karya-karyanya yang dimusnahkan, para
ilmuwannya pun disingkirkan.
Ibnu Massarah diasingkan, Ibnu Hazm diusir dari tempat tinggalnya di Majorca,
kitab-kitab karya Imam Ghazali dibakar, ribuan buku dan naskah koleksi
perpustakaan umum al Ahkam II dihanyutkan ke sungai. Ibnu Tufail, Ibnu
Rushdy disingkirkan. Nasib yang sama, juga dialami Ibnu Arabi.


Akhirnya, kebijakan bumi hangus tersebut telah menyebabkan kesulitan
merekonstruksi perjalanan sejarah Islam di Sevila, Cordoba, dan Andalusia
sebagai bukti keagungan peradaban Islam di Spanyol tidak bias dipungkiri,
meski kemudian sirna dihancurkan dalam Perang Salib. Tepat pada 2 Januari
1492, Sultan Islam di Granada, Abu Abdullah, untuk terakhir kalinya melihat Al
Hambra...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar